Jalan setapak masih terasa menanjak sejadi-jadinya
dipelupuk mata, seakan tak berbatas, tak tuntas, tak berkesudahan
Berpuluh harapan perlahan sirna, menggumpal
berwujudnya hanya sebatas angan
Kini rindu ku padamu, wahai dunia diluar
sana, begitu ingin ku dekap mu erat
Dinding abu-abu dan ruangan sederhana
ini barangkali belasan tahun setelah hari ini akan tetap menjadi potongan
cerita dalam tahap kehidupanku.
****
Warna langit mulai menggelap saat mata
ku terbuka terjuntai diatas kasur beralaskan spray dominan kuning, sore ini
terasa begitu pendek sekali, menjulurkan tangan dan jemari sambil menatap hape mungil
terdadiatas meja bersama tumpukan buku-buku yang belum tuntas ku baca. Mata
sendu, pikiran nan tak lagi stabil, badan lelah. kadang ini sudah menjadi pola
yang begitu biasa dalam beberapa waktu terakhirku.
Dalam pengujung doa nan begitu banyak
terucap, lama-lama “garis-garis” itu mulai perlahan saling bertemu satu sama
lain. Nutrisi rindu-rindu itu mulai saling merasuk ke tubuh nan-kaku, tubuh
nan-haus akan ribuan cerita menarik diluar sana. Iya cerita bersama mu diluar
sana, rindu dengan kencangnya deru angin malam, rindu dengan suara alam yang
menunjukkan kepada diri ini bahwa “hei…dunia ini luas sekali kawan’”.
Mata ku masih belum bisa diajak
berdiskusi dengan baik, padahal sudah siang begini. Badan tak lagi seirama,
kepala agak terasa asing, jelas sekali itu sebuah protes bahwa ia bekerja tak
lagi seperti seharusnya. Dinding kamar masih kaku menatapku, ia enggan untuk
mengucapkan “selamat siang sob”, dan
begitu malas untuk sekedar berbasa-basi “bangkitlah…,
mandi sana! Setela itu kita makan siang bro”! buruan,. .
ah.. kepala ku masih terasa tidak
begitu baik. begitu berat untuk segera bangkit, perlahan ku paksakan badan
lengan menarik kain yang terjuntai dibalik kaca kamar kesayangan ku itu.
warnanya warna biru muda, langit yang tadinya gelap kini mulai menampakkan
wajah seadanya, putih seperti kapas menggumpal. cahaya pantulan dari kaca itu
cukup menyilaukan, saat ia menyapu mata ku, wajah ku nan kusam *kece badai.
okey… memang sudah saatnya untuk bangkit hhhhfffsss……
Hari ini aku pulang pagi “lagi”
setelah bertolak dari ruangan Lab yang hanya berjarak kurang dari 3 menit saja
dari kamar ini, lab itu jika mataku ditutup dengan secarik kain kemudian
melaksakan tugas seperti biasa, barangkali ku mampu melakukannya. Iya sakin ku
hafalnya dengan ruangan-ruangan ini, sekat-sekat ini, bandul-bandul ini, computer-komputer
ini dan beberapa macam peralatan analisa. Malam adalah teman ku, aku si zombie
dan kerinduan yang tertahan pada indahnya negeri ini. menikmati malam terasa
begitu panjang, ingin rasanya menatap malam dengan sesuatu yang baru sesuatu
yang barangkali hari kemarin ku tidak mengalaminya. Rasa untuk mencari sesuatu
yang baru itu makin memuncah semenjak enam bulan terakhir, mulai semua ini
terasa begitu biasa, mulai semua ini terasa alpa untuk di kaji, mulai semua ini
menguap dalam hangatnya keinginanku untuk menyelam dalam sejuta cerita
mengagumkan diluar sana.
Oh tuhan… malam ini terasa begitu lama
ku lalui, bahkan semenjak enam bulan terakhir, aku si Zombie yang lelah, terkurung.
Ku bisa merasakan saat menunggu pagi tiba, ku menunggu sepotong getaran
semangat dalam menatap dunia. Pagi adalah awal yang indah, ketika janji-janji
baru muncul seiring embun menggelayut di ujung dedaunan di depan bangunan ini.
Ketika harapan-harapan baru merekah bersama kabut yang mengambang di atas hutan
kayu sebelah timur perumahan hingga mencapai kaki langit negeri asap ini. Kala
pagi tiba berarti adalah suatu rutinitas yang melelahkan setelah melampaui atas nama pagi, mimpi-mimpi kembali
terlewati, hingga rasa syukur itu semakin terlihat ada.
Ratusan siang sebelum siang ini adalah
masa yang harus aku inggat sepanjang umurku masih ada, akan ada masanya dimana
ditengah kagalauan dan lelahnya hati, kita akan perlu melakukan perbandingan
pola hidup dari satu periode ke periode yang lain. Dari masa perjuangan hidup
ke perjuangan hidup kita yang lain. Tampa kita sadari semua itu saling
berhubungan satu sama lain. dan rasa syukur akan selalu terpatri dalam hati.
Hai.. taukah kamu, siang ini adalah
siang dipenghujung waktu ku disini dikamar ini, dikota ini, ditempat dimana 3 X
12 bulan lebih telah ku lewati disini. Dan sore ini terhitung adalah sore-sore
terakhir ku di siak indra pura ini. Ahh… aku bakal merindukan tempat ini.
Hik..hikk..
Ada kalanya dalam berbagai jenis
kegagalan yang kita alami itu semua merupakan salah satu cara sang penguasa langit “menempa” kita, tampa kita sadari.
sewajar-wajarnya kita bakal mengeluh, lelah tak berdaya berpeluh keringat air mata,
hal tersebut akan menjadi isarat fisik atas kerinduan akan hidup yang lebih
baik.
Kita setiap harinya diberi waktu dua puluh empat jam dan itu adalah modal
kita untuk “mendisain hidup kita sendiri,
dan itu tak tergantikan kawan. “sungguh-sungguh tidak tergantikan”. Dan
sang penguasa langit masih menyuguhkan itu hingga detik ini. Tidak kah kau
bersyukur dengan semua itu?
Selamat memanfaatkan waktu mu kawan.
Dan mari pelan-pelan menggoda dan merayu betapa menariknya pesona alam diluar
sana, menyelami jutaan cerita indah anak negeri diluar sana. Seperti yang kau
rindu-rindukan selama ini.
menghitung sisa-sisa sang waktu
Farieco Paldona Putra
Tidak ada komentar:
Posting Komentar