Istriku
ternyata masih ingin sekali mengarahkan anak-anaknya untuk menjadi seorang
model atau semacam publik figure seperti yang ia cita-citakan semenjak muda
dahulu. Lain halnya bagiku, untuk saat ini yang paling penting anak-anak ku
bisa sekolah tinggi serta mandiri, kemudian bisa menjadi penerus usaha batik
ini, bagiku itu saja sudah jauh dari kata cukup.
Aku
sangat berharap kepada sisulung (Rifan) untuk melanjutkan usaha batik ini,
sementara istriku begitu sangat membangga-banggakan si sulung di tengah-tengah
keluarga yang nota bene adalah bintang basket disekolahnya, langganan juara
kelas, ada benarnya juga sahut sepotong pepatah “buah yang jatuh ngak bakal
jauh dari pohonnya’, Rifan memilki postur atletis atletis kulit cerah serta
wajah yang rupawan. sekilas ia memang punya potensi dan cocok di dunia
permodelan mirip aku dikala muda dahulu.
Sementara
itu oleh istriku, sibungsu juga diajarkan dan diberi banyak wejangan bagaimana
nantinya bisa menjadi seorang model yang terkenal serta mendapatkan pundi-pundi
uang dengan mudah, ya itulah istriku
cita-citakan saat muda yaitu berkarir di dunia “modeling”. Untuk menunjang
minat Rifan dan Putri, istriku menyokong secara penuh dan menfasilitasi semua kebutuhan mereka seperti
masuk les Seni, pakaian, camera pendukung untuk dokumentasi dan lain-lain.
padahal mereka masih dalam tahap awal pendidikan, aku dan isriku terkadang
sering ribut dengan masalah memfasilitasi anak-anak yang terkesan yang begitu
berlebihan itu, sampai-sampai ia (istriku) mau menjual perhisan yang pernah
kubelikan untuknya. Sungguh ini mengeluarkan dana berlebih-lebihan dan tidak
penting.
Kebiasaan
Rifan dan Putri semakin membuatku resah, akhirnya sampai juga hingga ke
pergaulan mereka. mereka lebih banyak bergaul dengan kalangan yang terbilang
berada (kaya) di sekolahnya, ini adalah kemauan dan dukungan istriku agar pamor
anak-anak bisa cepat naik dan terkenal, tak jarang mereka membawa teman-teman
sekolahnya kerumah sekedar untuk bercerita kongko-kongko dan bektat tentang gaya
hidup, yang sebetulnya hanya bersandiwara agar terlihat kaya mengedepannkan
prinsip kegengsian belaka. Sementara itu anak nomor dua ku Sovia begitu sangat
terabaikan, saat Rifan atau Putri bersama teman-temannya datang kerumah,
istriku selalu menyuruh di iringi bentakan dan tak jarang menghardik Sovia agar
cepat masuk ke kamarnya kemudian menutup pintu rapat-rapat dan diam ditempat.
Istriku
memang merasa sangat malu punya anak yang pincang, menderita penyakit kulit
yang mengeluarkan bau tak sedap itu, Sovia terkesan “aib” bagi keluarga kami.
Sungguh hati kecil ini meratap melihat kondisi semacam ini, awal-awalnya Sovia
selalu menangis bila dipaksa untuk masuk kekamarnya dan lama-kelamaan ia mulai
terbiasa mengerti dan tau diri dengan kondisinya itu.
Waktu
terus berlalu perlahan tapi pasti dengan perawatan yang rutin dan penuh dengan
kesabaran yang kujalani dan dengan segenap kasih sayang perhatian ke Sovia.
Penyakit kurapnya yang dideritanya mulai mereda, Pelan-pelan rambutnya kembali
bisa tumbuh panjang layaknya anak-anak pada umumnya, walau bekas dan sisa-sisa dari
penyakitnya masih ada. kala putri bunsungsuku sudah tahun kedua di Sekolah Dasar,
aku akhirnya memutuskan untuk menyekolahkan juga Sovia, dengan kondisi fisik
yang cacat (pincang) dan memiliki wajah tak secantik adiknya.
ia
begitu bersemangat saat ku kabari bahwa ia akan belajar setiap hari tempat yang
namanya “sekolah” dan akan punya banyak teman layaknya seperti adiknya aku
masih ingat apa yang di ucapkannya;
“terimaksih
ayah, sovia senang sekali bakal punya banyak teman” sembari ia berjalan
mendekatiku dengan langkah tak beraturan (pincang) dengan tenang ia merangkul
ku, memeluk dengan erat, “terimakasih ayah”…. Matanya basah dan berbinar
“iaa
sayang, ayah senang jika kamu punya banyak teman” nanti bawa main kemari,
seperti temannya kaka dan adik mu” hibur ke sovia. Dan ia mengannguk dan
tersenyum.
Sovia adalah anak yang bersemangat, semua
tentang sekolah nya tak luput dari perhatian ku. hasil belajarnya persemester
ia memang tak sepintar adiknya, nilai-nilai Sovia “menengah” (rata-rata) tidak
begitu jelek dan tidak begitu bagus, tapi ia memiliki sifat tau diri yang
“baik”. ia belajar secara konsisiten mandiri setiap hari. Dari waktu ke waktu
dari smester kesmester nilai si gadis pincang ku itu menampakkan sebuah
perubahan, sekaligus memperlihatkan bakat yang membuat aku dan istriku mulai
makin kagum padanya. ia mempunyai kemampuan daya hitung yang sangat baik
diantara teman-teman sekelasnya ia sering mendapat nilai sempurna (mendekati),
ia juga sering mengajari teman-teman sekelasnya dalam sebuah kelompok belajar,
tak jarang teman-temannya Sovia juga datang kerumah untuk berdiskusi dengan Sovia,
bahkan adiknya yang telah dua tingkat diatasnya sering dibantu memecahkan soal
hitung-menghitung yang katanya rumit itu.
Sovia
perlahan tumbuh sebagai anak yang percaya diri, selain menonjol dari pelajaran
menghitung sovia ternyata juga senang dengan seni gambar. siapapun bahkan aku
sendiri tidak pernah menyangka saat mengetahui Sovia, si gadis malang yang
dulunya sering dipaksa (sambil ter isak-isak) masuk kamar oleh ibunya, dikala
teman-temannya kakak dan adiknya datang kerumah. Awalnya aku bahkan istriku
mengira Sovia di kamar sedang menangis (karena selalu di omeli istriku tanpa
alasan yang jelas) atau sedang memutuskan untuk tidur, ternyata anggapan ku
salah.
Suatu
kali di tengah-tengah sovia di suruh mengurung diri di kamarnya, pernah
diam-diam aku mengintip dari belakang pintu, aku agak tergaketkan rupanya ia
sedang asik mengores-goreskan beberapa pensil warna, kemudian melukiskan diatas
kertas gambar di meja belajarnya, aku tiba-tiba terdiam di belakang pintu
kamarnya, sekilat itu hati ku berkata “aku kagum pada mu nak, ternyata kamu
tidak karna semua ini”
Sovia
menyibukkan diri dengan sesuatu yang membuat ia senang, dia tidak larut dengan
kesedihan. Semejak itu aku mengetahui satu lagi bakatnya yaitu “melukis”. Ke
kepoan ku kian berlanjut, karena penasaran, pernah juga suatu saat aku
nyelonong kekamar anak ku itu nampak Sovia dan Putri sudah tertidur dengan
lelap, aku ingin tahu tentang gambar apa yang di buat oleh sigadisku itu?,
ternyata ia punya jiwa seni unik dan dalam. aku terharu melihat goresan detail lukisan
kartun yang di buatnya, gamabar putri raja nan cantik dengan gaun yang indah
dan seorang raja kemudian prajurit-prajurit yang dilengkapi dengan atribut
kerajaan yang detil sekali, dia juga suka membuat jenis jenis pakaian-pakainan
cantik yang lagi Trend sekarang, pakaian yang sopan dan modis. selain itu dia
juga membuat berbagai macam karikatur lucu, yang mengundang tawa dan unik.
Ditengah-tengah
kebahagiaan yang aku dan istriku rasakan tentang kemampuan Sovia yang tak
terduga itu. Rifan yang baru saja lulus dari SMP tiba-tiba secara mengejutkan
minta ganti sepeda motor kepada ibunya. karena kondisi usaha (batik) kami yang
semakin mengkhawatirkan, akhirya aku tidak memenuhi permintaannya si sulung
itu. Dan Rifan mencoba membetak ibunya, aku mencoba untuk menenangkan keadaan,
dan perlahan menasehatinya. walau istriku dengan gampang menyarankan agar
memenuhi permintaannya Rifan. aku tetap tidak memenuhi permintaan tersebut,
Rifan nampaknya marah kepada ku ,begitu juga istriku yang sudah nampak menua
itu. aku menyadari hal ini adalah dampak kebiasaan istriku dari dulu yang
selalu memberikan apa yang dibutuhkan Rifan.
Semenjak
keuangan keluarga macet, banyak perubahan yang terjadi pada si bungsu (putri),
ia sering adu mulut dengan istriku, karena kebutuhanya sering kali terpaksa
tidak dipenuhi. istriku yang sudah terlanjur membiasakan mereka dengan
kesenangan dan berkecukupan, sekarang dampaknya mulai diraskan, istriku mulai
stres. Rifan yang baru masuk SMA akhir-akhir ini sering pulang malam bahkan
ngak pulang selama dua hari, dan beri alasan belajar kelompok, sering mengilahkan
nasihan dan teguran ku yang lama-lama mualai lebih tegas, kepadanya. Dalam hal
membimbing anak untuk mendalami seni peran, model yang telah menghabiskan waktu
dan materi oleh istriku kini aku mulai menyadari bahwa mendorong (memaksa) anak
dengan sesuatu yang tidak disenangi adalah cara mendidik yang salah, Rifan
barangkali mulai mencari dunia yang membuat dia lebih merasa “berdaya” dan “bebas”,
wataknya kian keras dan susah di atur.
begitu juga dengan nilai belajarnya kian tak jelas…,
“ahh….
bagaimana mau menjadi penerus usaha batik keluarga kalau seperti ini!! Gumam
ku. Seiring waktu aku semakin sungguh
sungguh mengkhwatirkan kondisi ini.
##
Suatu
malam, tidak seperti biasanya rumah kami digedor-gedor keras oleh seseorang,
Putri dan Sovia masih terlelap dikamarnya. istriku sangat kaget dan sejurus
kemudian segera membukkan pintu, ternya dia adalah Wawan dia adalah salah satu
karyawan kami yang hanya tinggal beberapa orang saja, seiring nafasnya yang
masih ngos-ngosan ia terdengar berbincang dengan istriku. Dari tempat ku baru
saja menyelesaikan sholat malam ku,,, ku lihat istriku nampak tumbang seketika
dan terkapar didepan pintu …
sontak aku kaget dan segera berlari kearah pintu…
aku sungguh khwatir
“Din….. Dindaaaaaa” ….?? Aku merangkulnya, rasa cemas mulai
menyerang..
...
BERSAMBUNG
Terimakasih
telah membaca ^_^
Tidak ada komentar:
Posting Komentar