Rabu, 24 September 2014

Hanya Siapalah Dian

     Dari kejahuan sayup-sayup suara kokok ayam terdengar begitu mendayu, memecah sepi di pagi ini.dinginya udara subuh, mengusik mata gadis kecil itu untuk segera terbangun dari tidurnya.

     “Dian” itulah sapaan gadis kecil itu. hari ini hari senin, dian bangun pagi lebih cepat dari biasanya. Setelah melaksanakan sholat subuh, dian merebus beberapa potong ubi. kemudian dicampur dengan parutan kelapa, terakhir disirami dengan gula seadanya. Dian pagi ini kembali mebuatkan minuman hanggat tradisional berupa dedaunan dan campuran jahe, yang tempo hari dipanen langsung di belakang rumahnya. dengan minuman hangat racikannya dia berharap bisa menyembuhkan sakit sang nenek.
Ia seketika mengecup kening neneknya dan meletakkan segelas obat racikkannya di atas meja.
dian juga  memasakkan makanan rebus ubi untuk sang nenek yang lagi pulas tidur diranjang tempat tidur beralaskan kasur tipis yang nampak tak lagi rata itu.
Dian dan neneknya tinggal di sebuah gubuk tua, rumah panggung yang terlihat sudah reot. berdinding bambu, beratap seng buram disertai lobang-lobang kecil di beberapa bagian. mereka tinggal  berdua semenjak di tinggal ibunya yang menjadi TKW ke Malaysia tiga tahun yang lalu,  sedangkan sang ayah meninggal dunia karena penyakit tumornya yang di deritanya. Yang saat itu dian baru masuk Sekolah Dasar. Gadis kelas 6 SD itu sering merasa sedih mengingat sang ayah tercinta meninggal karena penyakit yang dia belum paham apa itu, tanpa ada sentuhan pengobatan yang layak apalagi  yang namanya “dokter”.

    Setelah menyiapkan makanan pagi untuk sang nenek, dian merapikan kostum kebangganya. baju putih yang sudah nampak mulai menguning dan rok merah pudar yang bakal di kenakan pagi ini. Ia masih ingat pakayan merah putih itu dibelikan oleh sang ayah. ia selalu ingat dengan pesan sang ayah: 

“sekolahlah yang rajin, jangan gampang menyerah raih cita-citamu, kami berharap nasipmu kelak tidak seperti kami”

makanya dian jarang sekali menegeluh dalam hal apapun, ia juga memiliki prestasi yang baik sekolah. Rengking tiga besar selalu menjadi langganannya saat menerima rapor.
terdengar suara pelan dari tempat tidur.

Nenek terbatuk…. “.. mau berangkat sekolah”? 

“Iya nek”, seraya mengenakan sepatu hitam lusuhnya penuh tambal dan sebelah kiri yang tampak menganga karena belum sempat ia perbaiki
.
‘Kenapa cepat sekali”?

“Nek…. pagi ini Dian mesti kudu cepat datang kesekolah”. “Soalnya Dian bertugas sebagai pembaca teks Pancasila dalam upacara bendera kali ini”..,  ucapanya bangga.

       Neneknya perlahan tersenyum, sebelum mulai batuk lagi. kalau sekiranya ia tidak sakit dan bisa berdiri dari ranjangnya mungkin sudah di peluknya cucunya yang mungil itu dengan haru.

    Disaat teman-temannya menghindar bila ditugaskan sebagai pelaksana upacara bendera, tetapi tidak bagi Dian. ada sesuatu kebanggaan dan tanggung jawab tersendiri baginya. ia memang gadis kecil yang memiliki semangat nasionalis yang baik dan ulet sang almarhum ayahnya selalu mengajarkan untuk mencintai Indonesia, dan menjaga Indonesia apapun yang terjadi.

      Dian bersekolah di SD Negeri 09 Tanjung Tujuh, barangkali jaraknya ratusan kilometer dari ibu kota Negeri ini. ia dan teman-temannya  butuh berjalan 2,5 kilometer untuk menuju sekolah, mereka mesti melewati perbukitan, hutan  dan jalan tanah yang tak jarang sangat becek apalagi musim hujan seperti sekarang.

    Pagi itu dian dan teman teman sampai di sekolahnya. Sebuah sekolah yang nampak dinding-dindingnya bewarna cokelat kusam, papan tulis kapur di depan kelas yang setengahnya sudah begitu rusak, bagian atap ruangan nampak lobang-lobang menganga di tengah kelas. Disaat hujan para siswa tak jarang harus “bergeser-geser” menghindari percikan air yang masuk ke ruangan kelas.

    Siswa siswi pun nampak berkumpul ke tengah lapangan, jumlahnya tak sampai seratusan.
Saat Upaca bendera, sampailah giliran dian membaca pancasila, dengan tanpa teks ia membaca poin-perpoin pancasila dengan hitmat, suaranya lantang, setelah poin ke empat ia tiba-tiba terhenti. matanya berkaca-kaca tak tertahankan cairan bening di sudut matanya menetes perlahan.butuh persekian detik ia menyelesaikan “sila kelima itu”

 “KEADIALAN SOSIAL BAGI SELURUH RAKYAT INDONESIA”

dengan penghayatan dan sedikit terisak’ dian menyudahi tugasnya dan kembali ketempat.
Upacara bendera selesai, para siswa-siswipun bubar dan memasuki kelas masing-masing. saat memasuki ruangan kelas tiba-tiba Dian disapa oleh buk Mita guru Ilmu Pengetahuan Alam sekaligus wali kelasnya. Bu Mita menepuk pundak gadis kecil itu dengan senyum yang bijaksana, ia bertanya lembut;

“nak tadi saat membaca isi pancasila kenapa kamu nampak begitu sedih dan menangis”??, gadis kecil itu tertunduk dan kemudian menjawab.

“Bu”…. apakah kita hidup di Negara yang Adil”?Tanya Dian, anak kecil berumur 12 tahun yang selain sekolah perkerjaannya menjual lemper pisang buatan neneknya itu.

Buk mita mengehela nafas, tersenyum dan mengusap lembut kepala anak berkerudung itu.

” Anak ku “ 
 suatu saat kamu akan mengerti dan akan menjadi tugasmu untuk membenahi negeri ini “belajarlah yang tekun, raih cita-citamu dan perlahan betulkan negeri ini..sayang”

      Mungkin gadis kecil itu hanya diam, heran dan sedikit mengerutkan kening. Mengapa keadilan membuat keluarganya tidak dapat bantuan, kenapa keadilan ia  dan teman-teman tak dapat akses yang baik untuk menuju kesekolahnya, kenapa keadilan membuat ia dan teman-teman harus basah kuyup oleh air hujan ditengah asik belajar dikelas, kenapa keadilan membuat ia harus terpaksa meracik minuman obat tradisional sendiri tanpa ada bantuan pengobatan dari negeri ini, kenapa kesejahteraan rakyat (anak-anak) hanya bisa ia temukan di sinetron-sinetron yang pernah ia tonton di rumah Ani temannya??

       Tapi siapalah Dian? Hanya satu dari anak negeri yang tak tau kondisi bangsa ini, hanya satu dari anak negeri yang kaya raya ini yang seharusnya sangat pantas untuk mengeyam sesuatu yang bernama “pendidikan”, hanya satu dari jutaan anak negeri yang memiliki cita-cita yang besar dan harus pupus seketika dikala tak ada biaya untuk melanjutkan ke tahap yang lebih tinggi. Hanya satu dari banyaknya anak kecil yang tidak mengerti mengapa wakil-wakil rakyat bisa dengan bebas berobat ke luar negeri sementara sang nenek yang dia cintai yang terkapar di tempat tidur hanya bisa pasrah, neneknya memang tidak punya cukup uang untuk berobat,,

"Ah… ,, hanya siapalah dian?"  

.......... 


Oleh: Farieco Paldona Putra
Riau, 22 April 2014

Terimakasih telah pembaca ^_^    
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar