Satu persatu gelas-gelas itu perlahan kosong,
tampa sisa. kemudian ia kembali mengaum hingga beberapa detik dengan bunyi
pelan tak ubahnya seperti suara gelembung didih air mineral dan campuran
butiran beras didalam wadah megicom.
isapan cairan alat Fiber Length dari gelas-gelas
ukur itu berproses secara otomatis, hasil pembacaanya perlahan terbaca dilayar
monitor computer berwarna hitam disampingnya. aku yang sedari tadi duduk diam
di sudut timbangan analitik kembali bernostalgia dengan foto dokumentasi dua
bulan yang lalu, ya foto wajah-wajah
keluarga besar tepat di moment pernikahan saudara laki-laki ku. tiga menit ku
terpaku disudut ruangan ini, sambil menunggu beberapa sampel yang masih
nangkring di desikator dan tentunya mau saya timbang beratnya beberapa menit
lagi.
Jam menunjukan pukul 19:01 (Waktu Indonesia Labor), suara hujan lebat di luar sana masih terngiang-ngiang di telingaku,
menambah dingin ruangan ber AC ini menggoda ku untuk tidak melepaskan jaket
biru tua yang ku kenakan sejak awal jam kerja masuk. Setelah perlahan menimbang
berat beberapa saple, masih didepan layar
hanphone kembali ku tatap wajah-wajah yang begitu ku rindu [di banyak
waktu], ponakan yang begitu lucu-lucu mengemaskan. mereka di lahirkan oleh
saudara-saudara ku yang setia menjaga ke utuhan keluarga, kemudian yang tak
kalah sosok yang paling ku rindu adalah sepasang manusia terbaik sejagat raya
ini.
Sosok yang asupan kasih sayangnya tak lekang
oleh waktu,
Sosok yang kesetiaanya dalam lantunan
doa-doanya tak terhadang oleh jarak yang memisahkan,
Sosok yang selalu mengeluarkan air mata haru
saat kita pulang walau membawa secuil kabar gembira,
Sejatinya bukan apa yang
kamu bawa yang membuat mereka menangis haru, tapi kepulangan mu yang selalu
mereka nanti-nanti disekian lama, ia rela bersabar menahan rindu meski dalam
diam.
Hembusan udara dingin ruangan ini seakan
menggambarkan suasana negeri dingin nan berbukit di tanah minang.
Iya tempat dimana aku dilahirkan,
Tempat
dimana berimajinasinya bocah-bocah desa yang menjadikan bukit dan sungai
menjadi dunia fantasi mereka,
Tempat dimana anak-anak kecil dekil bercelana
pendek langsung main perahu air batang pisang sepulang sekolah, tak ubahnya
seperti bocah petualang.
Tempat dimana budak-budak ingusan mengerjakan PR
dibawah temaram lampu minyak tanah, kemudian menuliskan huruf A B C D E nyaris tak berbentuk karena
keseringan di hapus ulang menggunakan lilitan karet gelang diujung sebatang pensil
yang hanya tinggal se jari telunjuk orang dewasa saja.
Dan tempat dimana dua
orang yang bersahaja yang setia merawat putra putri mereka tercinta, walau
mereka tak pernah tau apa itu IPA,
IPS,GEOGRAFI.
Mereka adalah bapak dan ibu ku. entah bagaimana cara ku membalas
jasa-jasa luar biasa itu.
Paras yang nan bersahaja, seiring waktu raut
wajah itu secara alami makin terlihat garis-garis keriputnya, meisaratkan kenyang
akan lika liku kehidupan. Wajah teduh itu dibanyak waktu selalu terbayang di
pelupuk mata, kadang merindunya kadang mengkhwatirkannya, dan kadang ingin
sekali berjumpa denganya.
Ini salah satu yang kadang menjadi dilema bagi
seorang anak, atau mungkin bagi banyak orang yang hidup jauh dari seorang yang
bernama ibu (orang tua).
Ibu, Masih begitu segar dibenak ini bagaimana air mata
mu bercucuran dipagi-pagi buta, aku tau pagi itu ibu pergi kerumah tetangga buat
minjam uang buat SPPku yang sebetulnya sudah nunggak. sementara usaha buat
minjam pagi itu tidak didapati sama sekali.
Barangkali moment yang memilukan itu
dimana tetangga yang didatangi ibu pasti masih tertidur lelap rumahnya, sementara ibu dengan
sabar mengetuk-ngetuk pintu dari luar. Selang beberapa saat beliau menangis
didepan bapak mungkin begitu cara terakhirnya demi membagi rasa kepada sang
suami menyikapi perekonomian keluarga yang terasa begitu sulit kala itu, perlahan-lahan
akhirnya aku menegerti waktu itu memang hidup terasa begitu keras. bahkan sangat
sangat mengkhawatirkan,
ingin rasanya pagi itu aku kembali membuka seragam
putih dan celana panjang hijau SMP ku, dan gak usah saja bersekolah.
Tahun 2003 dan 2004 adalah masa dimana orang tuaku bekerja begitu keras demi anak-anaknya tetap bisa berangkat kesekolah tiap
pagi, bahkan sempat tergadaikan beberapa petak lahan tanam padi yang keluarga
punya. Begoknya malah dimasa itu aku makin jauh dari kata ngebahagian mereka,
masih sering cabut di jam pelajaran.meski begitu kau masih dengan sabar menasehati.
Mengenai perangaiku, aku tau kenapa kau begitu benci dipagi hari
disaat aku pura-pura sakit agar tidak berangkat kesekolah [*kareana malas], karena kau tahu
bagaimana rasa perihnya hidup tampa bersekolah, hidup tampa potensi diri padahal butuh diasah bertahun-tahun.
Ooooh... ibu maafkan anak mu ini, anak mu yang terlalu lamban mengerti betapa berat perjunganmu.
Ooooh... ibu maafkan anak mu ini, anak mu yang terlalu lamban mengerti betapa berat perjunganmu.
Penghujung tahun 2011 adalah tahun dimana air
mata mu kembali berlinang, menetes.tapi kali ini adalah tangis haru, bahagia. kala melihat dua putra terakhirmu dengan
melangkah mantap naik ke atas panggung dengan menggenakan toga keren yang
disaksikan beratus-ratus pasang mata dan nama lengkap mu disebut oleh pembawa
acara wisuda kala itu, kau begitu senang. aku tau saat itu adalah titik dimana bendera kemerdekaan
kau kibarkan, bendera kebebasan dari perjuangan nan melelahkan, lebih dari 30 tahun
menyekolahkan putra putrimu [mulai anak pertama mu].
Yah … 2011 adalah adalah tahun terakhir kami
bergantung kepada mu, tahun dimana lengkap sudah anak-anak mu kau lepas, dengan
lapang dada dan berat hati, kini kau kembali tinggal berdua dirumah tua kita.
bak seorang suami istri tampa sang buah hati yang menemani, berteman dengan sepi.
Masih ku ingat celoteh mu sambil tertawa dengan perasaan bercapur aduk “dulu awal-awal
menikah kami hanya berdua, nah lho sekarang kami kembali hidup berdua, impas
sudah” .
ah… satu hal saat ini yang membuat aku tetap
bersyukur tak terkira kepada ALLAH SWT,kini kau tinggal hanya menikmati masa
pensiun berdua, menerima biaya hidup setiap bulannya dari anak-anakmu. berkat
transfer doa-doa dalam sujut-sujutmu teruntuk putra-putrimu dimana mereka tetap masih bisa berkembang menjadi manusia yang lebih
banyak berbuat lagi bagi orang lain.ya seperti yang kau cita-citakan.
Pelepas rinduku kita hanya sering saling
bercita lewat telepone, dua pesan yang selalu terkandung dalam bait-bait
obrolan kita, yaitu “sudah makan”? dan ‘sudahkah sholat’?, pesan untuk tidak
mininggalkan sholat adalah pesan tersakral bagi darimu, kau selalu bilang
dengan sholat kamu akan terjaga In syaa Allah.
aku bersyukur sekali menyadari
bagaimana seorang yang tak tamat SD ini begitu konsisten mengArsiteki sebuah
keluarga agar besar agar masa depannya tak seburuk yang mereka alami. jujur saja anak-anak
seumuran ku tak sedikit menyerah dan berhenti sekolah kemudian memilih untuk
bekerja banting tulang membantu perekonomian keluarga di umur yang sangat muda.
***
Hujan diluar ruangan gedung labor ini sudah
mulai terdengar reda, mungkin hanya tinggal rintik-rintik kecil seakan tak
berarti turun dari langit malam. Tak terasa jam sudah menunjukkan waktunya
pulang, semoga usaha sejauh ini menjadi pijakan awal untuk mendisain masa depan
lebih produktif lagi, lebih banyak berbuat untuk kedua sang ARSITEK ku [orang tua], untuk seorang ibu
yang sangat ku cintai <3 .
terimasih telah membaca ^_^
Farieco Paldona Putra
Tidak ada komentar:
Posting Komentar