Sabtu, 03 Januari 2015

SANG ARSITEK

Satu persatu gelas-gelas itu perlahan kosong, tampa sisa. kemudian ia kembali mengaum hingga beberapa detik dengan bunyi pelan tak ubahnya seperti suara gelembung didih air mineral dan campuran butiran beras didalam wadah megicom.  

isapan cairan alat Fiber Length dari gelas-gelas ukur itu berproses secara otomatis, hasil pembacaanya perlahan terbaca dilayar monitor computer berwarna hitam disampingnya. aku yang sedari tadi duduk diam di sudut timbangan analitik kembali bernostalgia dengan foto dokumentasi dua bulan yang lalu,  ya foto wajah-wajah keluarga besar tepat di moment pernikahan saudara laki-laki ku. tiga menit ku terpaku disudut ruangan ini, sambil menunggu beberapa sampel yang masih nangkring di desikator dan tentunya mau saya timbang beratnya beberapa menit lagi. 

Jam menunjukan pukul 19:01 (Waktu Indonesia Labor), suara hujan lebat di luar sana masih terngiang-ngiang di telingaku, menambah dingin ruangan ber AC ini menggoda ku untuk tidak melepaskan jaket biru tua yang ku kenakan sejak awal jam kerja masuk. Setelah perlahan menimbang berat beberapa saple, masih didepan layar  hanphone kembali ku tatap wajah-wajah yang begitu ku rindu [di banyak waktu], ponakan yang begitu lucu-lucu mengemaskan. mereka di lahirkan oleh saudara-saudara ku yang setia menjaga ke utuhan keluarga, kemudian yang tak kalah sosok yang paling ku rindu adalah sepasang manusia terbaik sejagat raya ini. 

Sosok yang asupan kasih sayangnya tak lekang oleh waktu,

Sosok yang kesetiaanya dalam lantunan doa-doanya tak terhadang oleh jarak yang memisahkan, 

Sosok yang selalu mengeluarkan air mata haru saat kita pulang walau membawa secuil kabar gembira, 

Sejatinya bukan apa yang kamu bawa yang membuat mereka menangis haru, tapi kepulangan mu yang selalu mereka nanti-nanti disekian lama, ia rela bersabar menahan rindu meski dalam diam.     


Hembusan udara dingin ruangan ini seakan menggambarkan suasana negeri dingin nan berbukit di tanah minang.
Iya tempat dimana aku dilahirkan, 
Tempat dimana berimajinasinya bocah-bocah desa yang menjadikan bukit dan sungai menjadi dunia fantasi mereka, 
Tempat dimana anak-anak kecil dekil bercelana pendek langsung main perahu air batang pisang sepulang sekolah, tak ubahnya seperti bocah petualang. 
Tempat dimana budak-budak ingusan mengerjakan PR dibawah temaram lampu minyak tanah, kemudian menuliskan huruf A B C D E nyaris tak berbentuk karena keseringan di hapus ulang menggunakan lilitan karet gelang diujung sebatang pensil yang hanya tinggal se jari telunjuk orang dewasa saja. 
Dan tempat dimana dua orang yang bersahaja yang setia merawat putra putri mereka tercinta, walau mereka tak pernah tau apa itu IPA, IPS,GEOGRAFI. 
Mereka adalah bapak dan ibu ku. entah bagaimana cara ku membalas jasa-jasa luar biasa itu.
Paras yang nan bersahaja, seiring waktu raut wajah itu secara alami makin terlihat garis-garis keriputnya, meisaratkan kenyang akan lika liku kehidupan. Wajah teduh itu dibanyak waktu selalu terbayang di pelupuk mata, kadang merindunya kadang mengkhwatirkannya, dan kadang ingin sekali berjumpa denganya.

Ini salah satu yang kadang menjadi dilema bagi seorang anak, atau mungkin bagi banyak orang yang hidup jauh dari seorang yang bernama ibu (orang tua). 
Ibu, Masih begitu segar dibenak ini bagaimana air mata mu bercucuran dipagi-pagi buta, aku tau pagi itu ibu pergi kerumah tetangga buat minjam uang buat SPPku yang sebetulnya sudah nunggak. sementara usaha buat minjam pagi itu tidak didapati sama sekali. 
Barangkali moment yang memilukan itu dimana tetangga yang didatangi ibu pasti masih tertidur lelap rumahnya, sementara ibu dengan sabar mengetuk-ngetuk pintu dari luar. Selang beberapa saat beliau menangis didepan bapak mungkin begitu cara terakhirnya demi membagi rasa kepada sang suami menyikapi perekonomian keluarga yang terasa begitu sulit kala itu, perlahan-lahan akhirnya aku menegerti waktu itu memang hidup terasa begitu keras. bahkan sangat sangat mengkhawatirkan, 
ingin rasanya pagi itu aku kembali membuka seragam putih dan celana panjang hijau SMP ku, dan gak usah saja bersekolah.

Tahun 2003 dan 2004 adalah masa dimana orang tuaku bekerja begitu keras demi anak-anaknya tetap bisa berangkat kesekolah tiap pagi, bahkan sempat tergadaikan beberapa petak lahan tanam padi yang keluarga punya. Begoknya malah dimasa itu aku makin jauh dari kata ngebahagian mereka, masih sering cabut di jam pelajaran.meski begitu kau masih dengan sabar menasehati.

Mengenai perangaiku, aku tau kenapa kau begitu benci dipagi hari disaat aku pura-pura sakit agar tidak berangkat kesekolah [*kareana malas], karena kau tahu bagaimana rasa perihnya hidup tampa bersekolah, hidup tampa potensi diri padahal butuh diasah bertahun-tahun. 
Ooooh... ibu maafkan anak mu ini, anak mu yang terlalu lamban mengerti betapa berat perjunganmu.

Penghujung tahun 2011 adalah tahun dimana air mata mu kembali berlinang, menetes.tapi kali ini adalah tangis haru, bahagia. kala melihat dua putra terakhirmu dengan melangkah mantap naik ke atas panggung dengan menggenakan toga keren yang disaksikan beratus-ratus pasang mata dan nama lengkap mu disebut oleh pembawa acara wisuda kala itu, kau begitu senang. aku tau saat itu adalah titik dimana bendera kemerdekaan kau kibarkan, bendera kebebasan dari perjuangan nan melelahkan, lebih dari 30 tahun menyekolahkan putra putrimu [mulai anak pertama mu].

Yah … 2011 adalah adalah tahun terakhir kami bergantung kepada mu, tahun dimana lengkap sudah anak-anak mu kau lepas, dengan lapang dada dan berat hati, kini kau kembali tinggal berdua dirumah tua kita. bak seorang suami istri tampa sang buah hati yang menemani, berteman dengan sepi. Masih ku ingat celoteh mu sambil tertawa dengan perasaan bercapur aduk “dulu awal-awal menikah kami hanya berdua, nah lho sekarang kami kembali hidup berdua, impas sudah”

ah… satu hal saat ini yang membuat aku tetap bersyukur tak terkira kepada ALLAH SWT,kini kau tinggal hanya menikmati masa pensiun berdua, menerima biaya hidup setiap bulannya dari anak-anakmu. berkat transfer doa-doa dalam sujut-sujutmu teruntuk putra-putrimu dimana mereka tetap masih bisa berkembang menjadi manusia yang lebih banyak berbuat lagi bagi orang lain.ya seperti yang kau cita-citakan.

Pelepas rinduku kita hanya sering saling bercita lewat telepone, dua pesan yang selalu terkandung dalam bait-bait obrolan kita, yaitu “sudah makan”? dan ‘sudahkah sholat’?, pesan untuk tidak mininggalkan sholat adalah pesan tersakral bagi darimu, kau selalu bilang dengan sholat kamu akan terjaga In syaa Allah. 
aku bersyukur sekali menyadari bagaimana seorang yang tak tamat SD ini begitu konsisten mengArsiteki sebuah keluarga agar besar agar masa depannya tak seburuk yang mereka alami. jujur saja anak-anak seumuran ku tak sedikit menyerah dan berhenti sekolah kemudian memilih untuk bekerja banting tulang membantu perekonomian keluarga di umur yang sangat muda.


***
Hujan diluar ruangan gedung labor ini sudah mulai terdengar reda, mungkin hanya tinggal rintik-rintik kecil seakan tak berarti turun dari langit malam. Tak terasa jam sudah menunjukkan waktunya pulang, semoga usaha sejauh ini menjadi pijakan awal untuk mendisain masa depan lebih produktif lagi, lebih banyak berbuat untuk kedua sang ARSITEK ku [orang tua], untuk seorang ibu yang sangat  ku cintai  <3 .  








terimasih telah membaca ^_^



Farieco Paldona Putra 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar