Jumat, 10 April 2015

JEJAK LANGKAH Episode 8 : kami disini di Nol Kilometer Yogyakarta

Penghujung magrib. Setelah bertanya sana sini, kami tak kunjung jua mendapatkan harga yang pas dengan kantong kami. wajar saja di kota wisata ini wisma mahal-mahal, dan tidak bisa menampung kami yang berombongan. Setelah bolak balik bertanya kebeberapa orang dipinggir jalan, akhirnya kami dapati sebuah wisma murah berkat bantua seorang bapak-bapak di trotoar jalan. kebetulan juga tak jauh dari alun-alun, Dua buah kamar murah, sederhana, terang, ya mirip kos-kosan, tapi besih. itu sudah lebih dari cukup.

Setelah menunaikan sholat Isa dan Magrib dijama’. Sekitar jam delapan malam perut kami sudah terasa begitu  lapar, mencari makan adalah prioritas utama saat ini.
kembali melintasi alun-alun jogja, kemudian Kraton yang kini masih diramaikan kerumunan orang-orang yang ikut serta dalam acara dan ada sebagian hanya sekedar melihat-lihat acara tahunan kraton tersebut, ternyata masih terus berlanjut acara arak-arakan yang tadi sore kami saksikan di sepanjang jalan Malioboro. 

Kota tua ini dimalam hari masih jelas hiruk pikuk aktifitasnya. terutama disini di perempatan ini, di ujung selatan Malioboro menuju Kraton Yogyakarta.
Di nol Kilometer kota Yogyakarta sisi jalanya lapang sekali. banyak dikunjungi oleh orang-orang dari berbagai daerah walau hanya sekedar nongkrong bersantai ria dan menikmati aktifitas manusia disisi jalan. Lokasi nol kilometer ini sungguh ramainya hingga larut malam, umumnya anak-anak muda kadang begitu asik menampilkan kemahirannya dalam pementasan seni musik.
Setelah makan dipinggir jalan malioboro, kami bersantai menikmati malam di trotoar lebar ini. suasana  perempatan masih begitu ramai oleh orang-orang. 

Titik nol kilometer kota Yogyakarta dikelilingi oleh bangunan-bangunan tua bersejarah. Bangunan yang penting dalam kemajuan kota Jogja sebagai kota wisata, dantaranya adalah Benteng Vredeburg, gedung kantor Pos Indonesia, gedung bank BNI 46, gedung agung atau istana kepresidenan. itu semua adalah bukti sejarah masa lalu kota ini dari penjajahan belanda. Tentu saja menjai daya tarik bagi para pengunjung di kota ini. 

Design bangunan-bagunannya masih sangat kental ala-ala Belanda. Bangunan tersebut sengaja tidak dirombak bentuknya dari dulu hingga  sekarang, masih dijaga keunikan arsitekturnya. Lampu-lampu bangunan dimalam hari menambah cantik bangunan-bangunan itu, sedap dipandang. ia seakan bercerita tentang masa lalu yang kelam, masa penjajahan yang terlalu perih bila diingat. Di perempatan ini banyak kegiatan-kegitan anak muda kreatif yang bisa kamu saksikan, jika beruntung kamu bisa menyaksikan pagelaran musik-musik Tradisional, Pop maupun Jazz. bersama berbagai macam alat musik yang bikin kamu berhenti sejenak dan menikmatinya perlahan-lahan. biasanya dimainkan oleh para pelajar atau mahasiswa seni, bahkan dari beberapa komunitas seni di Jogja.

Bersama segelas kopi kami menikmati suasana malam didepan bangunan-bangunan tua ini, di kota yang terkenal dengan sebutan kota buku ini, kota kraton yang terlalu sering saya saksikan ditipi-tipi Nasional dulu. Bersama penjaja termos panas dan kopi susunya kami ulur-ulur waktu untuk balik kepenginapan, dan tetap bertahan di diluar ini menikmati alam yang rasanya masih senja,  padahal sudah begitu larut malam. entah kapan kami kembali kekota kraton ini.

****
Sabait kata di penghujung malam, apakah itu?? yaitu  “Menjaga”. Menjaga adalah sebuah betuk usaha untuk memepertahankan diri, memepertahankan apa-apa yang diangab istimewa, melestarikan efek positif dan menebarkan bak bunga-bunga kebaikan pada orang disekitar. Begitulah kota ini, kota seni budaya yang masih dijaga hingga saat ini. menjaga semua ini adalah perjuangan nan penuh kegetiran dan lelah nan panjang, hanya satu tujuan utama agar tak tergerus oleh jaman yang dapat mengikis keunikannya, supaya tak dipandang sebelah mata dan rendah oleh orang-orang.

Cinta, maafkan tafsir lisan ini yang kadang tak pandai mengutarakanya. Cinta yang baik itu adalah cinta yang menjaga, cinta yang menjaga keutuhannya sebagaimana kodratnya ia semula ada. Cinta sejati adalah rasa yang yang terarah, rasa yang hanya mau berlabuh pada hati yng mau tunduk pada sang Maha Cinta dan ia setia. bak sepotong kata penyair kemerdekaan dulu perda berkata “mempertahankan kemerdekaan jauh lebih sulit dari pada merebut kemerdekaan itu sendiri”. Begitu halnya cinta, menjaga keistimewaan yang kamu miliki jauh lebih sulit ditengah rayuan dunia. 

Cinta....
Jagalah rasa mu hingga waktu pas menghampirimu, jagalah keistimewaan itu seperti halnya budaya tradisionalan negeri Yogya yang tak tergerus oleh jaman. Tetaplah menjaga keutuhannya agar tak pudar karena rayuan dunia, tapi kau punya pilihan untuk melestarikanya hingga bunga-bunga itu tetap mekar sebagaiman kodrat cinta itu diciptakan. Hingga seseorang yang juga menjaga rasa cintanya jua datang menjemputmu, seseorang yang tak terukur oleh harta dan tahta. Tapi hanya menerima mu apa adanya.  

****
Pagi adalah titik awal bagi jiwa yang perlahan bangkit dan mencari sepotong rindu, sabait pesan, dan seutas faedah buat orang lain. Disini, di bagian jejak langkah pagi ini  rasanya mentari lebih cepat meninggi kemudian terang dibandingkan di negeri Solok selatan nan jauh disana, negeri yang dingin. kadang saya suka membanding-bandingkan keduanya. 
Di bawah bangunan tua itu kami perlahan membelah gang-gang sempit menuju jalan utama kota ini. pagi yang begitu cerah, Jam tujuh pagi kami sudah kembali melanjutkan perjalanan. bertolak dari sini dari nol kilometer yogyakrta menuju pasar tradisional dipinggir jalan malioboro. Sebagai rencana sore ini kami akan pulang ke Sidoarjo. 
Sebab besok kami harus kembali belajar seperti biasa. Diantara bangunan tua dan area santai nan begitu bersih, dipagi ini kita akan semakin bisa mengamati secara seksama tentang bangunan-bangunan tua itu, satu lagi diseberang kantor Pos Indonesia juga terdapat Monumen seragam umum 1 Maret 1949 bangunan bersejarah ini menjadi bukti perjuangan rakyat Yogyakarta melawan penjajahan Belanda.     

Tak terasa setelah puas mengitari pasar sepanjang jalan ini. Berkat bantuan seorang teman dari edo (salah satu dari kami) Ticket kereta Jogja-Surabaya akhirnya kami peroleh seharga lima puluh lima ribu persatu tiketnya, kira-kira lama jarak tempuh kereta lima sampai enam jam, jam keberangkatan jam 18.00 wib. Menimati jajanan kecil dipinggir jalan, menikmati suasana sore hari kami puaskan. Setelah Asyar sebelum kami menuju stasiun kereta, sebelum berangkat kami semua sempatkan untuk menuju tugu Jogja. Tidak afdhol rasanya kalau tidak nginjakan kaki di pelatran tugu ini, sebagai tanda jejak itu pernah menyentuh ini.
****
Malam mulai menyelimuti jagat nankelam, memberi kode pada para pembanting tulang untuk pulang. Terlihat silih berganti orang-orang tengah keruman diarea stasiun, mengeja berbagai jenis manusia dari garbong kegerbong. Petugas nampak teliti dalam memerikasa tiket dan kartu tanda pengenal setiap calon penumpang, semua berjalan dengan baik. menginjakkan kota ini dibawah rembulan yang kelam dan kembali mengangkat kaki ini juga tepat ditengah malam. 
Datang malam, pergi pun malam, semua terasa berarti disaat kau  pertemukan dengan daerah yang baru ditengah malam, karena pagi akan selalu menunjukkan pesona khas negerinya. Berada dalam kelompok yang senasip sepersejalanan, Inilah salah satu cara untuk mengikis rasa apatis, rasa ego yang brangkali terselip selama ini dihati. bersama kereta kelas ekonomi kami menembus dinginya malam, melintasi hamparan sawah-sawah rumah penduduk diatas rel dan bersama ular besi ini.

.....
Bersambung


Farieco Paldona Putra 


klik gambar untuk memaksimalkan tampilan gambar
 lampu-lapu tua ditengah keramaian di nol kilometer nampak gedung Pos Indonesia

 Gedung tua Pos Indonesia
 Monumen seragam umum 1949
 senja menyinsing saat mencari wisma
 perempatan nol kilometer Kota Jogja
 gedung BNI 46 ,yang cantik dibungkus lampu-lampunya dimalam hari
 pagi menyapa trotoar yang lapang
 pagi yang cerah, gedung bank terlihat dipagi hari
 terangnya kota jogja
 para pedagang di tepi trotoar berjaja rapi

 santai sejenak
 lelah kaki melangkah ,
kami Tugu Jogja

 sampai di stasiun Surabaya, tengah malam
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar