Penghujung magrib. Setelah bertanya sana sini, kami tak
kunjung jua mendapatkan harga yang pas dengan kantong kami. wajar saja di kota
wisata ini wisma mahal-mahal, dan tidak bisa menampung kami yang berombongan.
Setelah bolak balik bertanya kebeberapa orang dipinggir jalan, akhirnya kami dapati
sebuah wisma murah berkat bantua seorang bapak-bapak di trotoar jalan. kebetulan
juga tak jauh dari alun-alun, Dua buah kamar murah, sederhana, terang, ya mirip
kos-kosan, tapi besih. itu sudah lebih dari cukup.
Setelah menunaikan sholat Isa dan Magrib dijama’. Sekitar
jam delapan malam perut kami sudah terasa begitu lapar, mencari makan adalah prioritas utama
saat ini.
kembali melintasi alun-alun jogja, kemudian Kraton yang
kini masih diramaikan kerumunan orang-orang yang ikut serta dalam acara dan ada
sebagian hanya sekedar melihat-lihat acara tahunan kraton tersebut, ternyata masih
terus berlanjut acara arak-arakan yang tadi sore kami saksikan di sepanjang
jalan Malioboro.
Kota tua ini dimalam hari masih jelas hiruk pikuk aktifitasnya.
terutama disini di perempatan ini, di ujung selatan Malioboro menuju Kraton
Yogyakarta.
Di nol Kilometer kota Yogyakarta sisi jalanya lapang
sekali. banyak dikunjungi oleh orang-orang dari berbagai daerah walau hanya
sekedar nongkrong bersantai ria dan menikmati aktifitas manusia disisi jalan.
Lokasi nol kilometer ini sungguh ramainya hingga larut malam, umumnya anak-anak
muda kadang begitu asik menampilkan kemahirannya dalam pementasan seni musik.
Setelah makan dipinggir jalan malioboro, kami bersantai menikmati
malam di trotoar lebar ini. suasana perempatan
masih begitu ramai oleh orang-orang.
Titik nol kilometer kota Yogyakarta dikelilingi oleh bangunan-bangunan
tua bersejarah. Bangunan yang penting dalam kemajuan kota Jogja sebagai kota
wisata, dantaranya adalah Benteng Vredeburg, gedung kantor Pos Indonesia,
gedung bank BNI 46, gedung agung atau istana kepresidenan. itu semua adalah
bukti sejarah masa lalu kota ini dari penjajahan belanda. Tentu saja menjai
daya tarik bagi para pengunjung di kota ini.
Design bangunan-bagunannya masih sangat kental ala-ala Belanda.
Bangunan tersebut sengaja tidak dirombak bentuknya dari dulu hingga sekarang, masih dijaga keunikan arsitekturnya.
Lampu-lampu bangunan dimalam hari menambah cantik bangunan-bangunan itu, sedap
dipandang. ia seakan bercerita tentang masa lalu yang kelam, masa penjajahan
yang terlalu perih bila diingat. Di perempatan ini banyak kegiatan-kegitan anak
muda kreatif yang bisa kamu saksikan, jika beruntung kamu bisa menyaksikan
pagelaran musik-musik Tradisional, Pop maupun Jazz. bersama berbagai macam alat musik yang bikin kamu berhenti
sejenak dan menikmatinya perlahan-lahan. biasanya dimainkan oleh para pelajar
atau mahasiswa seni, bahkan dari beberapa komunitas seni di Jogja.
Bersama segelas kopi kami menikmati suasana malam didepan
bangunan-bangunan tua ini, di kota yang terkenal dengan sebutan kota buku ini,
kota kraton yang terlalu sering saya saksikan ditipi-tipi Nasional dulu.
Bersama penjaja termos panas dan kopi susunya kami ulur-ulur waktu untuk balik
kepenginapan, dan tetap bertahan di diluar ini menikmati alam yang rasanya
masih senja, padahal sudah begitu larut
malam. entah kapan kami kembali kekota kraton ini.
****
Sabait
kata di penghujung malam, apakah itu?? yaitu “Menjaga”.
Menjaga adalah sebuah betuk usaha untuk memepertahankan diri,
memepertahankan apa-apa yang diangab istimewa, melestarikan efek positif dan
menebarkan bak bunga-bunga kebaikan pada orang disekitar. Begitulah kota ini,
kota seni budaya yang masih dijaga hingga saat ini. menjaga semua ini adalah
perjuangan nan penuh kegetiran dan lelah nan panjang, hanya satu tujuan utama
agar tak tergerus oleh jaman yang dapat mengikis keunikannya, supaya tak
dipandang sebelah mata dan rendah oleh orang-orang.
Cinta,
maafkan tafsir lisan ini yang kadang tak pandai mengutarakanya. Cinta yang baik
itu adalah cinta yang menjaga, cinta yang menjaga keutuhannya sebagaimana
kodratnya ia semula ada. Cinta sejati adalah rasa yang yang terarah, rasa yang
hanya mau berlabuh pada hati yng mau tunduk pada sang Maha Cinta dan ia setia.
bak sepotong kata penyair kemerdekaan dulu perda berkata “mempertahankan
kemerdekaan jauh lebih sulit dari pada merebut kemerdekaan itu sendiri”. Begitu
halnya cinta, menjaga keistimewaan yang kamu miliki jauh lebih sulit ditengah
rayuan dunia.
Cinta....
Jagalah rasa mu hingga waktu pas
menghampirimu, jagalah keistimewaan itu seperti halnya budaya tradisionalan
negeri Yogya yang tak tergerus oleh jaman. Tetaplah menjaga keutuhannya agar
tak pudar karena rayuan dunia, tapi kau punya pilihan untuk melestarikanya
hingga bunga-bunga itu tetap mekar sebagaiman kodrat cinta itu diciptakan. Hingga
seseorang yang juga menjaga rasa cintanya jua datang menjemputmu, seseorang
yang tak terukur oleh harta dan tahta. Tapi hanya menerima mu apa adanya.
****
Pagi adalah titik awal bagi jiwa yang perlahan bangkit
dan mencari sepotong rindu, sabait pesan, dan seutas faedah buat orang lain.
Disini, di bagian jejak langkah pagi ini rasanya mentari lebih cepat meninggi kemudian
terang dibandingkan di negeri Solok
selatan nan jauh disana, negeri yang dingin. kadang saya suka membanding-bandingkan
keduanya.
Di bawah bangunan tua itu kami perlahan membelah gang-gang sempit
menuju jalan utama kota ini. pagi yang begitu cerah, Jam tujuh pagi kami sudah
kembali melanjutkan perjalanan. bertolak dari sini dari nol kilometer yogyakrta
menuju pasar tradisional dipinggir jalan malioboro. Sebagai rencana sore ini
kami akan pulang ke Sidoarjo.
Sebab besok kami harus kembali belajar seperti
biasa. Diantara bangunan tua dan area santai nan begitu bersih, dipagi ini kita
akan semakin bisa mengamati secara seksama tentang bangunan-bangunan tua itu,
satu lagi diseberang kantor Pos Indonesia juga terdapat Monumen seragam umum 1
Maret 1949 bangunan bersejarah ini menjadi bukti perjuangan rakyat Yogyakarta
melawan penjajahan Belanda.
Tak terasa setelah puas mengitari pasar sepanjang jalan ini.
Berkat bantuan seorang teman dari edo (salah satu dari kami) Ticket kereta
Jogja-Surabaya akhirnya kami peroleh seharga lima puluh lima ribu persatu tiketnya, kira-kira lama jarak tempuh
kereta lima sampai enam jam, jam keberangkatan jam 18.00 wib. Menimati jajanan
kecil dipinggir jalan, menikmati suasana sore hari kami puaskan. Setelah Asyar
sebelum kami menuju stasiun kereta, sebelum berangkat kami semua sempatkan untuk
menuju tugu Jogja. Tidak afdhol rasanya kalau tidak nginjakan kaki di pelatran
tugu ini, sebagai tanda jejak itu pernah menyentuh ini.
****
Malam mulai menyelimuti jagat nankelam, memberi kode pada
para pembanting tulang untuk pulang. Terlihat silih berganti orang-orang tengah
keruman diarea stasiun, mengeja berbagai jenis manusia dari garbong kegerbong.
Petugas nampak teliti dalam memerikasa tiket dan kartu tanda pengenal setiap calon
penumpang, semua berjalan dengan baik. menginjakkan kota ini dibawah rembulan
yang kelam dan kembali mengangkat kaki ini juga tepat ditengah malam.
Datang
malam, pergi pun malam, semua terasa berarti disaat kau pertemukan dengan daerah yang baru ditengah
malam, karena pagi akan selalu menunjukkan pesona khas negerinya. Berada dalam
kelompok yang senasip sepersejalanan, Inilah salah satu cara untuk mengikis rasa
apatis, rasa ego yang brangkali terselip selama ini dihati. bersama kereta kelas
ekonomi kami menembus dinginya malam, melintasi hamparan sawah-sawah rumah
penduduk diatas rel dan bersama ular besi ini.
.....
Bersambung
Farieco Paldona Putra
klik gambar untuk memaksimalkan tampilan gambar
lampu-lapu tua ditengah keramaian di nol kilometer nampak gedung Pos Indonesia
Gedung tua Pos Indonesia
Monumen seragam umum 1949
senja menyinsing saat mencari wisma
perempatan nol kilometer Kota Jogja
gedung BNI 46 ,yang cantik dibungkus lampu-lampunya dimalam hari
pagi menyapa trotoar yang lapang
pagi yang cerah, gedung bank terlihat dipagi hari
terangnya kota jogja
para pedagang di tepi trotoar berjaja rapi
santai sejenak
lelah kaki melangkah ,
kami Tugu Jogja
sampai di stasiun Surabaya, tengah malam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar